Selasa malam tepatnya tanggal 2 Mei 2023 beredar berita bahwa Presiden memanggil enam Ketum partai, yaitu Airlangga Hartarto (Ketum Golkar), Mardiono (PLT Ketua Umum PPP), Zulkifli Hasan (Ketum PAN), Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), Megawati Soekarnoputri (Ketum PDIP) dan Muhaimin Iskandar (Ketum PKB).
Pertemuan tersebut menjadi sorotan publik pasalnya Ketum Nasdem, PKS dan Demokrat tidak turut diundang hadir ke istana. Hal ini tentu menimbulkan berbagai asumsi di kalangan masyarakat, diantaranya adalah pertemuan tersebut untuk membahas formasi bakal Capres dan Cawapres serta koalisi besar istana untuk tahun 2024.
Hal ini bukan tanpa alasan, karena pertemuan ketua politik tidak bisa lepas dari pembahasan agenda politik terutama pilpres 2024 yang semakin dekat. Karena jika agendanya hanya momentum sillaturrahmi pasca lebaran tentu lebih elegan jika semua partai turut diundang hadir seperti Ketum Partai Nasdem, PKS dan Demokras yang notabennya pengusung bakal Capres Anies RA di pelpres 2024.
Jika demikian, maka ada tiga poin yang patut menjadi sorotan publik;
Pertama; Kepala Negara yang seharusnya netral dalam menyelenggaran Pemilu, kini justru malah ikut bermain dalam mendukung salah satu pasangan. Dengan demikian, pilpres yang sebenarnya ajang euforia (gembira) masyarakat dalam memilih pemimpin, justru malah dihadapkan dengan kekuatan penguasa. Lebih bahayanya lagi, jika hasil Pemilu ternyata kehendak rakyat tidak sesuai dengan hasrat penguasa atau sebaliknya, maka potensi terjadi chaos (kekacauan) yang tidak bisa di redam, karena kekuatan penguasa ikut terlibat dalam pusaran kontestasi politik praktis.
Kedua; Integritas Kepala Negara mengalami kehilangan trust (kepercayaan) publik, karena Kepala Negara yang seharusnya memposisikan sebagai negarawan yang merangkul berbagai kepentingan dan kelompok, malah justru berada di salah satu pihak. Hal ini menimbulkan kecurigaan publik terhadap setiap langkah dan kebijakan penguasa yang akan diambil, karena diaggap hanya menguntungkan pilihannya. Jika demikian, maka Kepala Negara dipersepsikan publik tidak lebih sebagai juru kampanye salah satu pihak saja.
Ketiga; Istana negara yang seharusnya menjadi pertemuan membahas kepentingan dan kemaslahatan rakyat secara umum karena semua fasilitas dan kemewahannya dari uang rakyat, kini malah menjadi tempat konsolidasi membangun kekuatan untuk menghadapi pilpres 2024 yang sesuai dengan hasrat penguasa. Hal Ini tentu sangat melukai hati rakyat.
Dalam menyambut kegembiraan pilpres 2024 tentunya masyarakat sangat menginginkan sikap kenegarawanan Kepala Negara untuk bisa menjadi "wasit" dalam menciptakan pemilu yang luber, jurdil, berkualitas, berintegritas, serta aman dan bahagia. Jika ini tidak diwujudkan, maka harapan masyarakat akan sirna dan hasilnya pun tidak akan merepresentasikan keinginan rakyat.