JAKARTA, – Dua kekuatan organisasi perempuan besar di Indonesia yakni Muslimat dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Aisyiyah dari Muhammadiyah melakukan kolaborasi dalam edukasi dan meningkatkan literasi gizi. Bersatunya dua organisasi tersebut dalam upaya meningkatkan keterpenuhan gizi masyarakat. Dari hasil edukasi yang dilakukan kepada para kader dari masing-masing organisasi ini, 40.000 kader kesehatan telah terjangkau program tersebut di berbagai daerah.
Sebagaimana diketahui, kecukupan gizi anak saat ini masih sangat jauh apabila asupan gizi keluarga secara umum juga belum terpenuhi. Persolan gizi masih menjadi tantangan kesehatan bagi anak di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018 mencatat prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita di Indonesia mencapai 17, 7 persen dari populasi, dan stunting mencapai angka 24, 4%.
Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, Dr. Erna Yulia Soefihara, menuturkan soliditas dua organisasi besar ini adalah untuk menunjukkan komitmen mereka dalam mengedukasi masyarakat mengenai pemberian makanan dan minuman yang bergizi kepada anak. Hal ini berdasarkan hasil temuan mereka saat turun ke lapangan, masyarakat masih banyak yang belum paham terkait pentingnya edukasi gizi.
“Saat kami turun ke lapangan, seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana merupakan salah satu daerah dengan angka stunting yang tinggi, kami melihat sendiri bagaimana kondisi anak terutama balita di daerah Timor Tengah Utara, yang termasuk kurang gizi bahkan sudah termasuk stunting, ” papar Erna dalam keterangan tertulisnya yang diterima Redaksi, Senin (26/12/2022).
Lebih lanjut Erna menjelaskan, ia dan para kader Muslimat NU di wilayah NTT melakukan berbagai cara agar masyarakat di wilayah tersebut teredukasi mengenai pentingnya gizi bagi anak dan keluarga.
“Kami pun memberikan contoh makanan yang bergizi yang bisa didapatkan oleh masyarakat di daerah tersebut. Dimana daerah Timor Tengah Utara merupakan daerah penghasil ikan yang bermanfaat bagi gizi anak, namun masyarakat terutama orang tua tidak membiasakan memberikan anaknya ikan. Kami malah banyak menemui orang tua yang memberikan anaknya uang untuk jajan makanan dan minuman yang tidak bergizi, ” ujarnya.
Erna pun menyayangkan orang tua yang memperbolehkan anaknya untuk jajan sembarangan, termasuk didalamnya anak mengkonsumsi kental manis. Ia juga mengatakan bahwa masyarakat di wilayah tersebut masih banyak yang beranggapan bahwa kental manis merupakan susu pengganti untuk anak, padahal hal tersebut salah.
Berdasarkan batas saran dari World Health Organization (WHO), Jumlah gula tambahan untuk anak yang disarankan yakni kurang dari 10% total kebutuhan kalori anak per hari. Kental manis sendiri punya kadar gula tambahan tinggi dan melebihi batas saran WHO tersebut. Dimana dalam satu porsi (4 sendok makan) yang dijual di pasaran, kalorinya mencapai 130 kkal dengan gula tambahan sebanyak 19 gram dan protein 1 gram.
Baca juga:
Tony Rosyid: Demokrat, Berhentilah Meratap
|
Senada dengan Erna, Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Dra. Chairunnisa, menyampaikan sepanjang tahun 2022 telah melakukan berbagai upaya terkait edukasi gizi, mulai dari penyuluhan dengan turun langsung ke lapangan, hingga melakukan penelitian yang dibuat untuk lebih mendalami penyebab kejadian stunting yang menyasar ibu yang memiliki balita. Hal ini Aisyiyah lakukan di wilayah Langkat, Medan dan Pekanbaru, Riau.
“Seperti temuan dari Muslimat NU, Aisyiyah juga menemukan fakta bahwa kental manis ini masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Dan berdasarkan penelitian Aisyiyah, faktor pemberian kental manis karena ketersediaannya yang dapat ditemukan dimana saja dan mudah dijangkau, sehingga dijadikan pilihan oleh masyarakat untuk memberikan produk tersebut ke anak mereka dibandingkan memberikan makanan dan minuman yang bergizi, ” jelas Nisa.
Kader Aisyiyah menyadari kurangnya edukasi dan literasi terkait gizi inilah yang akhirnya membuat masyarakat terutama di daerah Langkat dan Pekanbaru, untuk menjadikan kental manis sebagai opsi untuk pemberian nutrisi gizi bagi anak.
Nisa pun menuturkan, kadernya melakukan penyuluhan ke masyarakat dengan cara turun ke lapangan untuk memberikan contoh nyata kepada masyarakat. Seperti contohnya melakukan demo masak makanan bergizi dan bernutrisi yang sesuai dengan kebutuhan usia anak.
“Saat melakukan demo masak makanan bergizi dan bernutrisi pun kami sempat menemui ada ibu yang memberikan anaknya air dengan gula dan dijadikan sebagai pengganti susu. Saat melihat hal itu, kami cukup prihatin dan merasa perlu digencarkan penyuluhan kepada para ibu terkait larangan pemberian air dengan gula untuk menjadi nutrisi tambahan bagi balitanya, ” papar Nisa.
Keberhasilan Muslimat NU dan Aisyiyah Muhammadiyah dalam mengedukasi gizi ke masyarakat didasari dua organisasi besar wanita ini memiliki peran penting dalam memajukan Indonesia terutama dalam bidang kesehatan dengan turun langsung ke lapangan memberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama ibu.
Momen kebersamaan antara kedua organisasi tersebut dalam upaya edukasi dan literasi gizi kepada masyarakat akan terus berlanjut kedepannya. Bagi mereka, kolaborasi ini perlu terus dilanjutkan karena memiliki pengaruh yang cukup besar bagi kader dan masyarakat dari yang sebelumnya tidak mengetahui soal fakta konsumsi kental manis hingga pemberian asupan gizi yang cukup pada anak. (YC)